Sarjana Pendidikan Agama Islam Harus Jadi Guru dan Ustadz?

Ilustrasi

bersamaislam.com - Tanggal 31 Oktober 2015, kampus tempat saya mengajar disibukkan dengan agenda ujian skripsi/sidang munaqasah. Dari 6 program studi yang ada di lingkungan STKIP Nurul Huda (Prodi PAI, Prodi Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia, Prodi Pendidikan Ekonomi, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Prodi Pendidikan Fisika, Prodi PGMI), hanya Program Studi PGMI yang tidak disibukkan dengan agenda tersebut. Penyebabnya karena Prodi PGMI tergolong prodi yang masih muda dan baru berjalan 3 bulan sejak izin operasionalnya dikeluarkan oleh Diktis.

Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan mahasiswa bahwa setiap selesai ujian skripsi maupun setelah wisuda, mereka mulai kebingungan mencari lapangan pekerjaan. Problem utama bukan hanya pada susahnya mencari lapangan pekerjaan, tetapi juga susahnya mencari lapangan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang keilmuan atau sesuai dengan label sarjananya. Itulah sebabnya banyak terjadi penumpukan sarjana baik di kota maupun di desa dikarenakan mahasiswa cenderung menunggu lapangan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang keilmuannya.

Padahal jumlah lembaga pendidikan yang menaungi sarjana tidak sebanding dengan jumlah sarjana yang setiap tahun semakin bertambah. Sarjana pendidikan bahasa Inggris merasa dia harus menjadi guru pendidikan bahasa Inggris, sarjana pendidikan fisika merasa harus menjadi guru pendidikan fisika. Begitu pula dengan sarjana pendidikan agama Islam seringkali mempunyai komitmen bahwa akar keilmuanya bidang keagamaan, maka sarjana tersebut harus menjadi guru PAI, paling tidak menjadi ustadz TPA/TPQ di kampung halaman. Dan hal ini diperkuat dengan persepsi masyarakat di sekitar kita, bahwa sarjana pendidikan agama Islam (PAI) identik dengan guru agama Islam, guru ngaji, kyai, ustadz/ustadzah, da’i/da’iah, qari’/qari’ah pokoknya hal-hal yang berbau ukhrowi (akhirat).

Benarlah dengan apa yang pernah dikatakan mantan Rektor UIN Malang, Prof. Imam Suprayogo dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa kadangkala ajaran Islam hanya dipandang sebatas ritual belaka. Ajaran Islam dipersepsikan hanya sebatas shalat, puasa, zakat, halal, haram, mubah, sunnah, wajib dan sebagainya.

Karena paradigma seperti inilah yang mempersempit gerak para sarjana pendidikan agama Islam (PAI) untuk maju dan berkembang dalam menghadapi globalisasi zaman. Menghadapi AEC (Asean Economic Community/ Masyarakat Ekonomi Asian) maka sarjana pendidikan agama Islam (PAI) harus mampu berdiaspora dalam berbagai lini. Hal-hal yang sifatnya ilmu ukhrawi adalah wajib dimiliki oleh setiap muslim terutama para sarjana pendidikan agama Islam (PAI). Tetapi jangan sampai mengabaikan hal-hal yang sifatnya duniawi. Karena pada dasarnya alam dunia ini adalah ladang/jalan untuk mencapai alam akhirat.

Maka dari itu, sarjana pendidikan agama Islam (PAI) tidak melulu lulusannya harus menjadi seorang guru agama Islam, guru ngaji, kyai, ustadz/ustadzah, da’i/da’iah, qari’/qari’ah. Idealnya sarjana pendidikan agama Islam (PAI) juga bisa menjadi pengusaha yang selalu menerapkan nilai-nilai ke-Islaman, bisa pula menjadi politisi yang mampu menerapkan nilai-nilai ke-Islaman, wirausahawan yang Islami, pegawai yang Islami dan sebagainya.

Intinya adalah apapun profesinya, sarjana pendidikan agama Islam (PAI) harus bisa membawa panji-panji Islam, mampu berdakwah di berbagai lini kehidupan. Namanya dakwah tidak terbatas hanya ceramah, khutbah, halaqah dan mendirikan majlis-majlis maulid. Tetapi setiap profesi (yang tidak bertentangan dengan syari’at agama) bisa menjadi ladang dakwah melalui nilai-nilai Islam yang kita sisipkan dalam profesi tersebut. Saya doakan, sarjana pendidikan agama Islam (PAI) mampu menjadi sarjana yang selalu membawa panji-panji Islam dimanapun berada dan apapun profesinya. Amin.

Wallahua’lam

Penulis: Romdloni Ahmad M.Pd.I
(Dosen di STKIP Nurul Huda, Oku Timur, Sumatera Selatan)

Post a Comment

0 Comments