Sementara kita sibuk scrolling dan menyukai video-video lucu, ada saudara-saudara kita di Palestina yang kehilangan rumah, keluarga, bahkan nyawa—semua demi mempertahankan kehormatan Al-Aqsha.
Kita ini generasi gawai. Jempol lebih lincah daripada kaki, mata lebih sering memandang layar daripada mushaf, dan waktu luang lebih sering habis untuk konten-konten receh yang cepat hilang dari ingatan.
Tapi di belahan dunia sana, ada anak-anak seumur kita atau bahkan lebih muda yang tak pernah punya waktu untuk drama korea, tapi setiap hari berhadapan dengan drama kematian. Mereka tak punya pilihan selain menjadi pemberani. Saat kita sibuk mengeluh karena sinyal Wifi lelet, mereka berjuang dengan tubuh penuh luka, mempertahankan masjid Al-Aqsha dengan takbir dan batu.
Mereka sedang berjihad.
Dan kita?
Apakah cukup hanya menangis saat melihat video penderitaan mereka? Apakah cukup menekan tombol “share” dan merasa sudah ikut peduli?
Tidak.
Jihad hari ini, bagi kita yang jauh dari medan perang, bukan berarti harus memanggul senjata. Tapi memanggul amanah. Menjadi bagian dari barisan yang menebar kesadaran, menjaga semangat, dan menolak tunduk pada narasi dunia yang ingin melupakan Palestina.
Kita bisa mulai dari doa yang tak pernah putus. Dari dompet yang kita buka untuk donasi. Dari suara yang kita angkat, dari konten yang kita buat, dari waktu yang kita sisihkan untuk belajar agar kelak mampu memimpin dan mengubah keadaan. Kita bisa menulis, berbicara, mengajar, mendidik, bahkan memboikot dengan pilihan yang kita ambil.
Dulu, generasi 45 merebut kemerdekaan dengan darah dan air mata. Kini, kita juga punya ladang jihad. Jangan sampai sejarah mencatat kita sebagai generasi yang sibuk rebahan saat Al-Aqsha dihinakan.
Saatnya berhenti menjadi penonton. Jadilah bagian dari cerita.
1 Comments
bagus banget tulisannya. aku harap kamu menulis lebih banyak cerita, artikel untuk membuka mata dunia! sending love
ReplyDelete